
Data dan Fakta Kasus Perceraian Kota Depok

Diposting pada Leave a Comment
Diposting pada Leave a Comment
Oleh: Ahmad Rafuan, S.Sy. (Hakim Pratama PA Kuala Kapuas)
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial, yang artinya dalam kehidupan saling membutuhkan satu sama lain.[1] Dalam relasi hubungan antar sesama manusia, ada unsur kepentingan individu maupun kelompok yang menjadi tujuan dalam kehidupan bersosial. Untuk meraih tujuan atau kepentingan tersebut, tidak jarang terjadi persinggungan atau gesekan antara individu dengan individu yang lain yang disebut dengan konflik atau pertikaian. Konflik adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sosial, namun konflik dapat dikelola dan diselesaikan untuk mencapai titik temu antara satu kepentingan manusia dengan kepentingan yang lain. Penyelesaian konflik dapat ditempuh melalui proses non-litigasi maupun litigasi. Penyelesaian konflik melalui proses non-litigasi melalui mediasi, negosiasi, suluh, arbitrase dan metode lainnya untuk mencapai titik temu kesepakatan penyelesaian konflik.[2] Adapun penyelesaian konflik secara litigasi adalah penyelesaian melalui lembaga peradilan.
Penyelesaian konflik kepentingan antar individu melalui lembaga peradilan telah diatur sedemikian rupa melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa kepentingan antar individu dipahami sebagai perkara perdata. Penyelesaian perkara perdata di Indonesia secara litigasi diselesaikan melalui dua lembaga peradilan, tergantung dari subjek hukum[3] yang berperkara. Perkara perdata antara orang yang beragama Islam dan/atau badan hukum Islam diselesaikan melalui lembaga peradilan agama.[4] Adapun yang selain itu, diselesaikan melalui lembaga peradilan umum.
Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan mengikuti sistem hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, baik melalui lembaga peradilan umum maupun lembaga peradilan agama. Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.[5] Dalam pengertian lain, hukum acara perdata juga diartikan sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[6] Untuk memenuhi aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam penegakan hukum perdata materiil, pelaksanaan hukum acara perdata dibatasi dan diawasi oleh asas-asas hukum acara perdata. Salah satu asas dalam hukum acara perdata yang menjadi acuan pelaksanaan adalah asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan bertujuan agar pelaksanaan pemeriksaan perkara perdata di pengadilan dilaksanakan dengan sederhana tanpa bertele-tele, cepat dan tidak memakan banyak biaya. Dalam pelaksanaan tahapan-tahapan persidangan harus memerhatikan asas tersebut, tidak terkecuali dalam tahapan pembuktian. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting sebagai landasan dan pertimbangan utama hakim dalam memutus perkara.[7] Dalam perkara perdata, bukti yang dianggap paling kuat adalah alat bukti surat berupa akta otentik, yang mana kekuatan pembuktiannya sempurna dan mengikat[8], yang terletak pada keaslian surat atau akta tersebut. Sedangkan akta atau surat yang berbentuk fotokopi, sesuai peraturan Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, Angka 9, harus terlebih dahulu dicocokkan dengan aslinya dan kemudian dilegalisir oleh Panitera sebelum diajukan sebagai alat bukti di persidangan.[9] Ketentuan mengenai legalisir alat bukti surat yang berbentuk fotokopi oleh Panitera ini, di banyak sisi justru bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Sebab, alat bukti surat atau akta yang berbentuk fotokopi, selain harus di-nazegelen di kantor pos, juga nantinya akan dicocokkan lagi dengan aslinya oleh Majelis Hakim di persidangan dengan agenda pembuktian. Bagaimana seandainya di satu sisi Panitera menyatakan dokumen fotokopi sesuai dengan aslinya dan memberikan legalisir atas dokumen fotokopi tersebut, namun di sisi lain Majelis Hakim menyatakan dokumen fotokopi tersebut tidak cocok dan tidak sesuai dengan aslinya, atau malah sebaliknya, maka akan muncul pertanyaan krusial tentang pendapat siapa yang harus dijadikan acuan hukum formil pembuktian, Panitera ataukah Majelis Hakim. Pendapat pihak mana pun yang akan diambil, tentu akan menjatuhkan kewibawaan dan kedudukan pihak lainnya. Atau bagaimana seandainya Panitera sedang melaksanakan dinas luar daerah, sedangkan keperluan legalisasi alat bukti dokumen fotokopi mendesak diperlukan untuk pembuktian di persidangan, maka waktu penyelesaian persidangan akan semakin panjang. Selain memakan waktu lebih lama, hal tersebut juga tidak efisien dalam upaya penyelesaian perkara di pengadilan. Oleh sebab itu, penulis tertarik dan merasa penting untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam Paper yang berjudul “URGENSI LEGALISASI BUKTI FOTOKOPI OLEH PANITERA UNTUK PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN”.
PERMASALAHAN
PEMBAHASAN
1. Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas pelaksanaan persidangan yang mengutamakan penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Asas tersebut tertuang di dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman[10] jo. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman[11]. Dalam peraturan perundang-undangan terkait Peradilan Agama, asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tertuang dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[12].
Asas sederhana bermakna pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat merupakan asas yang bersifat universal, berkaitan dengan waktu penyelesaian perkara yang tidak berlarut-larut. Berkaitan dengan waktu penyelesaian perkara, telah ada batas waktu penyelesaian perkara paling lama 5 (lima) bulan untuk penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama, dan paling lama 3 (tiga) bulan untuk penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Banding melalui Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan.[13] Ketentuan mengenai batas waktu tersebut sudah termasuk penyelesaian minutasi. Pengecualian terhadap batas waktu tersebut berlaku terhadap perkara-perkara khusus yang sudah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas cepat ini dikenal dengan adagium justice delayed justice denied, yang bermakna proses peradilan yang lambat tidak akan memberi keadilan kepada para pihak. Asas biaya ringan mengandung arti bahwa biaya perkara dapat dijangkau oleh masyarakat.
Jika ditelaah dalam sepuluh tahun terakhir, sudah banyak kebijakan yang dilahirkan dan dijalankan oleh Mahkamah Agung untuk mendorong implementasi ketiga asas tersebut. Untuk menjalankan peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan yang efektif dan efisien misalnya, diperkenalkan kebijakan pendukung berupa penggunaan teknologi informasi. Para pihak yang berperkara bahkan masyarakat umum bisa melakukan penelusuran perkara melalui SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara). Di beberapa Pengadilan Agama telah diterapkan penggunaan SMS Reminder (SMS Gateway) untuk mengingatkan para pihak mengenai jadwal persidangan, untuk meminimalisir adanya penundaan sidang yang disebabkan kealpaan para pihak menghadiri sidang sehingga harus dipanggil ulang, yang mengakibatkan penguluran waktu penyelesaian perkara. Selain itu, telah digalakkan sisten court calendar yang menekankan aspek kepastian jadwal pelaksanaan persidangan, sehingga meminimalisir adanya penundaan persidangan dengan alasan yang tidak substansial. Yang terbaru, adalah implementasi e-court dan e-summons yang berimplikasi pada berkurangnya biaya dan waktu penyelesaian perkara[14].
2. Alat Bukti Surat dan Kekuatan Pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata
Sengketa yang diajukan ke lembaga peradilan akan diputus melalui putusan hakim. Untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil suatu gugatan atau menolak suatu dalil dan tuntutan, penggugat atau tergugat yang telah dibebani pembuktian harus membuktikannya dengan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tersebut ditentukan oleh Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata (BW), yaitu:[15]
Dalam perkara perdata yang menekankan pada aspek formil[16], kedudukan alat bukti surat dianggap lebih kuat dibanding alat bukti lainnya. Sudikno Mertokusumo mengartikan alat bukti surat (alat bukti tertulis) sebagai:“Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.[17]
Surat yang dibuat dan memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang ditandatangani[18], dan sejak semula dengan sengaja dibuat untuk pembuktian disebut sebagai surat akta.[19] Akta dibedakan menjadi dua, yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah suatu surat yang bentuknya ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang untuk itu.[20] Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta atau surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tanpa bantuan pejabat atau pegawai umum, yang bertujuan untuk dijadikan alat bukti tentang peristiwa yang tercantum di dalamnya.[21]
Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak.[22] Pengertian bukti yang sempurna adalah apabila bukti akta otentik tersebut telah memenuhi ketentuan perundang-undangan maka hakim harus menganggap cukup alat bukti tersebut sebagai bukti kebenaran peristiwa atau dalil, tanpa meminta tambahan alat bukti lainnya. Undang-undang mengharuskan hakim meyakini kesempurnaan bukti akta otentik, karena akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang yang ditunjuk undang-undang. Namun demikian, pihak lawan berhak menyangkal kebenaran akta otentik tersebut, tentunya dengan alat bukti yang otentik pula.[23]
Pada prinsipnya, kekuatan suatu bukti surat hanya terletak pada asli surat yang berbentuk akta.[24] Jadi, surat yang berkekuatan bukti hanyalah akta yang asli. Salinan atau ikhtisar dari suatu akta boleh dipercaya apabila sama dengan aslinya. Begitu pula fotokopi dari akta otentik, dapat dipercaya apabila sesuai dengan aslinya. Hanya saja fotokopi dari suatu akta memiliki ketentuan tambahan supaya bernilai pembuktian.
3. Urgensi Legalisasi Bukti Fotokopi Oleh Panitera Untuk Pembuktian di Persidangan
Ketentuan mengenai pembuktian mengatur bahwa dokumen fotokopi yang akan dijadikan sebagai alat bukti, harus dilegalisir dengan cara dicocokkan dengan aslinya, kemudian dinyatakan dan ditandatangani oleh pejabat berwenang bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Untuk keperluan pembuktian di persidangan, yang berwenang melakukan legalisir terhadap fotokopi tersebut adalah Panitera, yang diatur di dalam Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, dan ditegaskan melalui Surat Mahkamah Agung Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tentang Legalisasi Surat.
Secara yuridis, ketentuan mengenai legalisasi alat bukti surat fotokopi memiliki payung hukum. Namun menjadi menarik ketika ketentuan tersebut dikaji dari aspek sosiologis, filosofis dan pragmatis, sehingga akan ditemukan efektifitas hukum untuk menguji urgensi ketentuan legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera tersebut.
Membicarakan efektifitas hukum, berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi tiga syarat, yakni berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis,[25] serta ditambah dengan aspek pragmatis. Penjelasan mengenai berlakunya suatu peraturan sebagai kaidah adalah sebagai berikut:[26]
Kalau dikaji secara mendalam agar suatu hukum dapat berfungsi secara efektif dan efisien, maka setiap peraturan harus memenuhi unsur-unsur kaidah di atas secara kumulatif, bukan alternatif, sebab (1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan;[28] (4) dan apabila hanya berlaku secara pragmatis, kemungkinan kaidah itu hampa dari kepastian dan keadilan[29].
Berbicara mengenai efektifitas hukum, juga tidak terlepas dari empat faktor yang mempengaruhi keberfungsiannya, yakni (1) kaidah hukum atau peraturan itu sendiri; (2) petugas yang menegakkan atau menerapkan; (3) sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan kaidah hukum; dan (4) masyarakat yang terkena dampak peraturan tersebut. Dengan mengkaji aturan mengenai legalisasi alat bukti surat/akta fotokopi oleh Panitera menggunakan kaidah efektifitas dan efisiensi pemberlakuan hukum, maka akan dapat ditemukan urgensi pelaksanaan peraturan tersebut.
Secara yuridis, aturan bahwa dokumen alat bukti surat/akta yang berbentuk fotokopi harus dilegalisasi oleh Panitera memiliki payung hukum melalui Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, dan ditegaskan melalui Surat Mahkamah Agung Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tentang Legalisasi Surat. Artinya, aturan tersebut berlaku secara yuridis.
Secara sosiologis, jika menggunakan sudut pandang teori kekuasaan, aturan tersebut dapat dipaksakan untuk diberlakukan. Namun jika dilihat dari sudut pandang pengakuan masyarakat, maka aturan tersebut tidak diakui oleh masyarakat baik secara eksplisit maupun implisit, malahan ketentuan tersebut justru menambah rumit proses perkara yang akan dihadapi oleh masyarakat di lembaga peradilan.
Secara filosofis, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas peradilan sederhana menginginkan proses peradilan bersifat sederhana serta tidak rumit dan asas cepat menginginkan proses peradilan diselesaikan dalam waktu yang singkat dan padat, sedangkan ketentuan mengenai legalisasi akta fotokopi tersebut memperpanjang alur pembuktian oleh para pihak. Sebab para pihak harus menemui Panitera terlebih dahulu untuk meminta legalisir akta fotokopi. Padahal Panitera memiliki tugas-tugas penting lain yang juga harus dilaksanakan. Belum lagi apabila Panitera dalam keadaan melaksanakan dinas luar daerah, padahal bisa jadi keperluan legalisasi alat bukti fotokopi sudah sangat mendesak untuk pembuktian di persidangan, sehingga dapat mengakibatkan tertundanya proses pembuktian dan semakin lamanya penyelesaian perkara. Ketika sidang pembuktian pun, Majelis Hakim akan melakukan pencocokkan kembali alat bukti fotokopi dengan aslinya, sehingga ketentuan bahwa bukti fotokopi harus dilegalisir oleh Panitera sangat tidak efektif dan tidak efisien. Belum lagi apabila terjadi perbedaan pendapat antara Panitera dengan Majelis Hakim mengenai sesuai atau tidaknya bukti fotokopi dengan aslinya, maka pendapat pihak manakah yang harus dijadikan pegangan dalam pembuktian. Pendapat pihak mana pun yang dipilih berpotensi menurunkan kewibawaan pihak lainnya apabila terjadi perbedaan pendapat tersebut. Asas biaya ringan, menginginkan proses peradilan dilaksanakan dan diselesaikan dengan biaya seminimal mungkin. Ketentuan mengenai legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera mengharuskan para pihak membayar biaya legalisir sebesar Rp.250 (dua ratus lima puluh rupiah).[30] Meskipun jumlah tersebut bukan jumlah uang yang besar di masa sekarang ini, tetapi setidaknya pengeluaran para pihak dalam berperkara dapat ditekan seminimal mungkin.
Secara pragmatis, ketentuan tersebut tidak bersifat praktis bahkan cenderung membuat rumit para pihak. Terlebih ketika para pihak memerlukan legalisasi oleh Panitera, namun Panitera sedang memiliki banyak pekerjaan penting lainnya, atau bahkan Panitera sedang dalam keadaan dinas luar daerah. Bahkan ketentuan tersebut bisa saja menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat bagi para pihak jika pada proses pembuktian nantinya, Majelis Hakim akan melakukan pencocokkan kembali antara bukti fotokopi dengan akta aslinya.
Melihat dari argumentasi di atas, ketentuan mengenai legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera memenuhi unsur berlaku secara yuridis, namun tidak memenuhi unsur berlaku secara sosiologis, filosofis, dan pragmatis. Sehingga jika dikaitkan dengan pendapat Zainuddin Ali, ada kemungkinan aturan tersebut merupakan kaidah hukum yang mati. Selain itu, apabila dikaitkan dengan empat faktor keberfungsian hukum, ketentuan tersebut secara memiliki relasi secara negatif terhadap tiga faktor, yakni (1) petugas yang menegakkan dan menerapkan; (2) sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan kaidah hukum; dan (3) masyarakat yang terkena dampak peraturan tersebut. Oleh sebab itu, Penulis menyimpulkan bahwa ketentuan legalisasi alat bukti surat/akta fotokopi oleh Panitera untuk pembuktian di persidangan sangat tidak efektif dan tidak memiliki urgensi untuk diterapkan.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan persidangan, penting untuk menerapkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas sederhana berarti proses peradilan tidak rumit dan bertele-tele. Asas cepat terkait dengan waktu penyelesaian perkara yang tidak memakan waktu lama. Asas biaya ringan menginginkan pelaksanaan dan penyelesaian perkara peradilan menggunakan biaya seminimal mungkin.
Dalam perkara perdata, alat bukti surat atau akta memiliki kedudukan utama dan kekuatan yang sempurna. Kekuatan pembuktian akta terletak pada aslinya. Sedangkan bukti salinan atau fotokopi harus sesuai dengan akta aslinya.
Secara yuridis, alat bukti akta fotokopi harus dilegalisir oleh Panitera. Namun secara sosiologis aturan tersebut tidak mendapat pengakuan maupun penolakan oleh masyarakat baik secara eksplisit maupun implisit. Secara filosofis, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Secara pragmatis, aturan tersebut tidak bersifat praktis bahkan cenderung tidak berguna.
Jika dikaitkan dengan faktor keberfungsian hukum, ketentuan legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera memiliki relasi negatif terhadap tiga faktor, yakni petugas yang menegakkan dan menerapkan; sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan; dan masyarakat yang terkena dampak peraturan tersebut. Sehingga, kesimpulannya aturan mengenai legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera untuk pembuktian di persidangan sangat tidak efektif dan tidak memiliki urgensi untuk diterapkan.
2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Mukti Arto, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan ke-II, 2018.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1999.
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Citra Aditya Bakti, cet. II, 2012.
Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Jaudar Press, 2017.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Wildan Suyuthi Mustofa, Panitera Pengadilan, Jakarta: Tatanusa, 2002.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1982.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-XVI, 2016.
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: Balitbang Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010.
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, cet. V, 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBg).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009.
MAHKAMAH AGUNG RI
Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993.
PERMA Nomor 3 Tahun 2018.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 701 K/Sip/1974.
SEMA Nomor 2 Tahun 2014.
SEMA Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994.
FOTENOTE
[1]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h. 29.
[2]Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 11.
[3]Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang disebut orang. Orang dalam pengertian hukum adalah manusia pribadi dan badan hukum. Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, h. 27.
[4]Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lihat juga A. Mukti Arto, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan ke-II, 2018, h. 307.
[5]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, h. 2.
[6]Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1982, h. 13.
[7]Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: Balitbang Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010, h. 101.
[8]Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-XVI, 2016, h. 545.
[9]Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, Angka 9. Lihat juga Surat Mahkamah Agung Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tentang Legalisasi Surat.
[10]Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
[11]Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[12]Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
[13]SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan
[14]Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
[15]Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Jaudar Press, 2017, h. 419.
[16]Dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif atau positief wettelijk bewijsleer, dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang formal. Lihat Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Citra Aditya Bakti, cet. II, 2012, h. 2.
[17]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara…, h. 116.
[18]Suatu akta harus ditandatangani di dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Paraf atau nama dengan huruf balok saja tidak cukup. Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970.
[19]Sarmin Syukur, Hukum Acara…, h. 421.
[21]Sarmin Syukur, Hukum Acara…, h. 424.
[22]Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg dan Pasal 1870 KUHPerdata.
[23]Sarmin Syukur, Hukum Acara…, h. 426.
[25]Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, cet. V, 2011, h. 94.
[27]Pragmatis artinya bersifat praktis dan berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan). Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1999. Menurut Zainuddin Ali, efektifitas hukum dilihat dari tiga aspek berlakunya hukum, yakni secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Adapun kaidah berlaku secara pragmatis merupakan tambahan dari penulis.
[28]Zainuddin Ali, Filsafat Hukum…, h. 94
[29]Poin ini merupakan tambahan dari Penulis.
[30]Wildan Suyuthi Mustofa, Panitera Pengadilan, Jakarta: Tatanusa, 2002, h. 24.
Diposting pada Leave a Comment
Grand Design RB (Reformasi Birokrasi) dapat dilihat selengkapnya di sini
Diposting pada Leave a Comment
Mensitir pendapat Sulayman Ibn ‘Abd al-Qawi Ibn Abd al-Karim Ibn Sa’id atau yang populer dengan sebutan Najm ad-Din at-Tufi, seorang filosof Islam dari Bagdad menyatakan bahwa “ kemaslahatan manusia pada dasarnya adalah tujuan di dalam dirinya sendiri. Akibatnya perlindungan terhadapnya menjadi prinsip hukum tertinggi atau sumber hukum paling kuat”.[2] Pendapat tersebut di Indonesia sejalan dengan pemahaman populer dari Prof Cip (baca: Prof. Sacipto Raharjo) yang menyatakan bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum; konsekwensi pemahaman dimaksud adalah bahwa keberadaan hukum sebagai tatanan kehidupan harus mampu mengayomi dan melindungi manusia dari berbagai keadaan dan kebutuhan sepanjang dalam ranah keadilan (out of the book) ,bukan manusia dipaksa untuk mengikuti bunyi teks hukum (teks of the book).
Gustav Radbruch seorang filosuf Jerman mengingatkan bahwa hukum itu harus mampu membawa pesan keadilan kepastian dan kemanfaatan[3] sebagai tujuan hukum, timbul pertanyaan apakah perangkat hukum selama ini sudah mampu memberikan tiga pesan tersebut. Ada dua hal berbeda yang perlu diharmonisasikan oleh pembuat hukum,penegak dan pemakai hukum,karena sistem hukum suatu Negara yang menyusun tatanan hukum dengan produk hukum positif adalah masih terkait dengan ranah politik berbeda dengan pemakai hukum yaitu warga Negara adalah tidak dalam ranah itu.
Penegak hukum adalah ranah netral dari kepentingan politik untuk menjembatani instrumen hukum yang dibuat lembaga resmi dengan warga Negara sebagai pemakai hukum. Ada bebrapa pilar penegak dalam hukum yaitu Hakim,Jaksa,Polisi dan Advokat dari beberapa pilar tersebut harus sinergi untuk menuju alur keadilan dalam menggali hukum demi kemaslahatan semua pihak.
Untuk memudahkan membaca,penulis perlu memilah dengan alur rumusan masalah,antara lain:
Hukum dalam kehidupan berbangsa dan berNegara dipilah menjadi beberapa kelompok, dari sisi materiilnya ada hukum positif ada hukum Islam dan hukum adat. Dari sisi hukum yang dikodifikasi dipilah lagi ada hukum pidana, hukum perdata,hukum dagang/bisnis,hukum tata usaha Negara dan lain sebagainya . Dari sisi sistemnya ada yang menggunakan sistem statute law / Eropa kontinental, ada yang anglo sexon / common law ada yang mixe antara dua sistem tersebut dan hukum Islam.
Pemahaman warga Negara terhadap perangkat hukum tidak semua dapat digeneralisir bahwa mereka telah mengetahui sebagaimana slogan bahwa warga Negara wajib tahu undang-undang (ajaran fiksi hukum). Asas fiksi hukum menyatakan, setiap orang dianggap mengetahui adanya suatu undang-undang yang telah diundangkan. Dengan kata lain, fiksi hukum menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure).[4]
Fakta di lapangan menunjukkan terjadi fariasi,baik antara mereka yang tau dan sadar hukum kemudian mematuhi, ada yang tau dan sadar itu aturan hukum tetapi tidak mematuhi dan sengaja melanggar serta ada yang betul-betul tidak mengatahui. Pada hal dalam ajaran itu ketidaktahuan rakyat atas undang-undang tidak dapat dimaafkan (ignorantia jurist non excusat). Fiksi hukum dapat digolongkan merupakan asas yang mengandung alasan pembenar dari Negara untuk memberi rambu rambu kepada warga Negara bahwa semua warga Negara wajib tau dan taat pada undang-undang.
Mereka yang sudah mengetahui aturan itu saja ternyata berbeda dalam mensikapinya, misal kejadian viral yang terjadi akhir-akhir ini dengan kasus” Nurul Fahmi” yang membawa bendera merah putih bertuliskan kaligrafi kalimat thoyyibah dan gambar pedang saat demo ,kemudian di tangkap dengan alasan menodai dan menghina bendera Negara, pada hal masih banyak kasus lain serupa dengan berbagai moment tetapi tidak diusut. Pemahaman ini berangkat dari terjadinya perbedaan pemahaman UU No 24 tahun 2009 tentang Bendera,Bahasa dan Lambang Negara yang berfariatif, ada yang mendasarkan harus ada pelapor baru di tindak lanjuti, ada menyatakan harus dilihat motifnya dulu dari tulisan itu digoreskan dalam bendera tersebut dan lain sebagainya.
Fakus dalam bidang perorangan/ perdata hukum sudah memberikan rambu-rambu sebagai batasan antara hak dan kewajiban warga Negara dengan warga Negara lainya atau warga Negara dengan Negara dan lain sebagainya. Keseimbangan (balance) dan hak proporsional menjadi keniscayaan bagi semua warga Negara tanpa kecuali, memang hak dan kewajiban hukum warga Negara tidak dapat disama ratakan. Di situlah menurut tradisi keadilan dipandang sebagai pemeliharaan atau pemulihan keseimbangan (balance) atau jatah bagian (proportion) ,dan kaidah pokoknya seringkali dirumuskan sebagai “ perlakuan hal-hal yang serupa dengan cara yang serupa”, kendatipun perlu menambahkan kepadanya “dan perlakuan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda”.[5]
Negara sebagai wadah warga Negara mempunyai peran harus menciptakan kesejahteraan bagi warga Negaranya, dari sisi sosial maupun dari sisi hukum dan kesejahteraan di berbagai bidang. Karena kewajiban tersebut Negara membuat perangkat hukum sebagai landasan yuridis agar alur dalam menjalankan perannya Negara selalu on the track, sehingga semua regulasi yang diundangkan harus dimaknai sebagai upaya Negara mewujudkan perannya dalam rangka memberikan perlindungan dan kesejahtraan dalam berbagai bidang. Islam sebagai bagian dari hukum di Indonesia dalam dogmanya sudah sejak awal memberikan dukungan penuh dengan kaidah-kaidahnya maupun materiilnya telah selaras dengan peran mewujudkan kesejahteraan yaitu dengan kaidah dalam fiqhiyah yaitu : sebagaimana tersebut dalam Kitab Al-Ashbah Wa al- Nadloir Halaman 128 :
تصرف الام على الرعبة منوط بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya : “ Pemerintah mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahan”.
Dari sisi konstitusi perlindungan adalah merupakan hak asasi yang dilindungi sebagaimana ketentuan pasal 28 UUD 1945, berangkat dari maksud uraian di atas inilah mengapa warga Negara dari berbagi karakter dan kondisinya wajib dilindungi dari semua kepentingannya.
Sistem hukum akan berjalan apabila didukung tiga unsur yaitu sebagaimana disebutkan di bawah ini berjalan seirama, Lawrence M.Friedman memilah operasional hukum menjadi tiga yang dalam operasional aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks dimana struktur ,substansi dan kultur berinteraksi.[6]Apabila dipahami secara sederhana bahwa struktur ini menyangkut tubuh institusional yang terdiri dari hakim dan orang-orang yang terkait dengan berbagai jenis di pengadilan, Sustansi adalah perangkat hukum yang lahir dari berbagai aturan di institusi itu dijalankan, sedangkan kultur adalah elemen sikap dan nilai sosial.[7]
Pendistribusian kekuasaan di Indonesia dibagi menjadi tiga; eksekutif,legislatif dan yudikatif. Masing-masing tersebut memiliki peran dan tanggtung jawab berbeda, akan tetapi masih dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan ketertiban di semua bidang.
Peran eksekutif adalah sangat luas diantaranya menjamin hak-hak warga Negara terwujud tanpa kecuali, legislatif berkwajiban mengawasi dan menyediakan perangkat hukum bersama eksekutif, sedangkan yudikatif adalah solusi akhir apabila problem hak dan kwajiban warga Negara tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sudah disediakan berbagai perangkat aturan untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, tinggal warga Negaranya sendiri tanggap apa tidak dengan hak-haknya apakah karena kepekaan aparautrnya yang kurang tanggap; hal itu harus ditelusuri demi tuntutan kostitusi yaitu mensejahterakan warga Negara secara keseluruhan.
Disadari tidak semua perangkat hukum yang disediakan eksekutif dan legislatif mampu menjawab kepentingan warga Negara, hal itu karena hukum yang diciptakan baru sebatas ketentuan garis besar. Adapun tugas penjabaran secara detail kepada warga Negara adalah tugas yudikatif dengan berbagai hak interpretasinya.
Sinergitas tiga lembaga di atas menunjukkan bahwa peran suatu Negara dalam rangka memberikan keadilan adalah keharusan yang tidak dapat ditawar lagi, sehingga apapun kesulitan dan keruwetan warga Negara agar terpenuhi hak –hak hukumnya merupakan kewajiban Negara terhadap warga Negaranya dalam berbagai hal.
Demikian tulisan sederhana ini disampaikan semoga memberikan manfaat kemanusiaan yang lebih luas,sehingga tidak terdapat diskriminasi pelayanan dan perlindungan hukum kepada seluruh warga Negara. Wa Allahu al a’lam bi al shawab.
[1] . Wakil Ketua Pengadilan Agama kelas 1 A Pekalongan.
[2] . ‘Abdallah M.al-Husayn al-Amiri ,2004,Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi, Gaya Media Pratama,Jakarta,h.42.
[3]. Ahmad Ali,2013,Menguak Teori Hukum (Legal Theory ) dan Teori Peradilan (Jurisprudence), Kencana ,Vol.1, cetakan ke 5,h.288.
[4]. http://www.riaupos.co/857-opini-menggugat-asas-fiksi-hukum-.html#. WIgQJF wv3IU# ixzz4 WjmYyBwm.
[5] . HLA.Hart,2013,Konsep Hukum,terjemahan M.Khozin, Nusa Media,Bandung,h.246.
[6][6] . Lawrence M.Friedman,2011, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemah M.Khozin, Nusa Media, cetakan ke IV,h.17.
[7] . Ibid,h. 16-17.
Diposting pada
PENDAHULUAN
Tidak bisa dihindari dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi persengketaan atara seseorang dengan orang lain atau antar kelompok dengan kelompok lain.
Ketika terjadi persengketaan, tidak jarang orang menyelesaikan sengketanya dengan caranya sendiri atau sering disebut main hakim sendiri. Menyelesaikan sengketa dengan caranya sendiri biasanya tidak menyelesaikan masalah tetapi justru menimbulkan masalah baru.
Al Quran memberikan solusi dalam menyelesaikan masalah ketika terjadi persengketaan antara seseorang dengan orang lain.
NORMA YANG ADA DALAM AL QURAN
Firman Allah :
وجزؤا سيئة سيئة مثلها فمن عفا واصلح فاجره على الله انه لا يحب الظلمين (الشورى : 40)
Artinya : “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah, Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (Q.S. Asy Syura : 40).
Sepintas ayat ini tidak tampak membicarakan masalah persengketaan. Tetapi apabila dicermati dengan adanya kata “balasan”, “kejahatan”, “memaafkan”, dan “berbuat baik”, tentu ada dua pihak.
Dalam konteks ayat ini pokok masalahnya adalah adanya “kejahatan”, tentu ada dua pihak, yaitu : Pelaku kejahatan dan Korban Kejahatan.
Ayat ini memberikan dua alternatif penyelesaian apabila terjadi tindak kejahatan oleh seseorang terhadap orang lain.
Alternatif pertama, korban kejahatan boleh membalasnya dengan kejahatan yang serupa (seimbang/sama seperti kejahatan yang dideritanya) kepada pelaku kejahatan.
Dalam istilah hukum Islam, pembalasan suatu tindak kejahatan dengan kejahatan yang serupa disebut qisos.
Diantara ayat-ayat Al Quran yang lainnya yang menerangkan tentang qisos adalah :
يا يها الذين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحربالحر والعبد بالعبد والانثى بالانثى فمن عفي له من اخيه شيء فاتباع بالمعروف واداء اليه باحسان …… (البقرة : 178)
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) …….”
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له ……(المائدة : 45)
Artinya :
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata denga mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya……..”
Alternatif kedua, korban kejahatan tidak membalas sama sekali bahkan memaafkan dan berbuat baik kepada pelaku kejahatan.
APLIKASI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Ada perbedaan cara pelaksanaan penyelesaian sengketa antara alternatif pertama dengan alternatif kedua.
Sedangkan untuk penyelesaian sengketa dengan cara alternatif kedua, dapat dilakukan oleh si korban sendiri karena cukup si korban kejahatan berikrar dalam dirinya sendiri atau dihadapan pelaku kejahatan bahwa dirinya telah memaafkan atas kesalahan/kejahatan yang dilakukan pelaku kejahatan. Sehingga pelaksanaannya cukup simpel bahkan sangat-sangat simpel tidak ada prosedur yang harus ditempuh karena dapat dilaksanakan pada waktu kejadian atau pada waktu kejahatan selesai dilakukan.
Sedangkan penyelesaian sengketa kejahatan dengan alternatif kedua pasti dapat terlaksana karena dilaksanakan oleh si korban sendiri dan tidak harus melibatkan pihak lain. Bahkan meskipun pelaku kejahatan telah meninggal dunia.
Sedangkan penyelesaian sengketa kejahatan dengan cara alternatif kedua, hukumnya sunnah karena dijanjikan pahala dari Allah dengan firman-Nya : “Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah”.
Dengan memperhatikan perbedaan cara melaksanakan penyelesaian sengketa alternatif pertama dan alternatif kedua, kiranya kita dapat mengambil pelajaran dari ayat 40 surat Asy Syura tersebut yakni, bahwa penyelesaian sengketa kejahatan dengan cara memaafkan lebih baik (karena dijanjikan mendapat pahala dari Allah) dari pada membawanya ke Pengadilan.
Disamping itu implikasi dari memaafkan dapat menjalin ukhuwah yang lebih erat, sedangkan membawa sengketa ke pengadilan dapat menimbulkan permusuhan.
(Wallahu a’lam).
Diposting pada 161 Comments
Cara Mengajukan Gugatan Cerai, Bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara cerai bagi perkawinan yang dilakukan menurut agama islam yang diakui sah oleh hukum negara Indonesia. Salah satu ciri utama bahwa perkawinan dilakukan secara agama islam dan sah secara hukum negara Indonesia adalah adanya Buku Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Sehingga semua perkawinan warga negara indonesia yang mempunyai Buku Nikah, maka saat akan melakukan perceraian harus diajukan di Pengadilan Agama setempat.
Bahwa gugatan cerai di Pengadilan Agama tersebut dapat diajukan baik oleh Suami kepada Isterinya maupun oleh Isteri kepada Suaminya. Gugatan yang diajukan Suami kepada Isterinya disebut dengan Permohonan Cerai Talak, dimana nantinya suami menjadi Pemohon dan Isteri menjadi Termohon. Sedangkan terhadap gugatan cerai yang diajukan oleh Isteri kepada Suaminya disebut Gugatan Perceraian, dimana isteri sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat.
PENTING !!
Cara Mengajukan Gugatan Cerai, jika isteri hendak mengajukan gugatan cerai kepada suaminya, maka Pengadilan agama yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya adalah Pengadilan Agama dimana Isteri tersebut berdomisili hukum. Domisili hukum dapat dibuktikan dengan adanya Kartu Tanda Penduduk (KTP), artinya jika isteri berdomisili hukum di Kabupaten Magelang dan Suami bertempat tinggal di Jakarta, maka Pengadilan Agama yang berwenang adalah Pengadilan Agama tempat domisili hukum isteri yaitu Pengadilan Agama Kabupaten Magelang.
Adapun beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan bagi seorang isteri yang ingin mengajukan gugatan cerai kepada suaminya adalah sebagai berikut :
Cara Mengajukan Gugatan Cerai Isteri Kepada Suami Di Pengadilan Agama, dari beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan / gugatan cerai talak diatas, penulis memberikan rekomendasi agar memilih alasan point 6, dengan pertimbangan pembuktiannya lebih mudah dan merupakan alasan yang paling banyak digunakan dan paling banyak dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memutus kasus gugatan perceraian.
Dalam mengajukan gugatan cerai, isteri mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan tambahan yang dapat berupa :
Cara Mengajukan Gugatan Cerai, selain mengajukan tuntutan nafkah, isteri yang akan mengajukan gugatan cerai dapat juga mengajukan gugatan pembagian harta bersama (gono-gini) bersamaan dan dalam satu naskah dengan gugatan cerai dimaksud. Penulis menyarankan jika seorang isteri ingin mengajukan gugatan cerai dan tahu ada harta bersama, maka sebaiknya bersamaan pengajuan gugatan cerai sekaligus pengajuan gugatan pembagian harta bersamanya diajukan dalam satu naskah gugatan.
Selain membuat surat gugatan, isteri yang akan menggugat suaminya juga harus mempersiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diperlukan. Bukti-bukti yang diperlukan adalah sebagai berikut :
Oleh :
M. Gabriel Haryanto, SH. MM.
Pengacara di Kantor Hukum LHS & PARTNERS
Diposting pada Leave a Comment
Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004, adalah ; “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (vide, pasal 1 ayat 1 ).
Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, adalah :
a). Suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri ;
b). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti : mertua, menantu, ipar, dan besan ; dan
c). Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal dalam rumah tangga tersebut, seperti PRT.
Adapun bentuk KDRT seperti yang disebut di atas dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk :
1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ;
2) Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll.
3).Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu ; dan
4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah,sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat dituntut kepada pelakunya, antara lain :
a).Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
b).Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ;
c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ;
d).Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum ; dan
e). Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide, pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT.
Dalam UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu :
a).Merumuskan kebijakan penghapusan KDRT ;
b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT ;
c). Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT ; dan
d). Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender, dan isu KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
UU No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban masyarakat dalam PKDRT, dimana bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melakukan upaya:
a) mencegah KDRT ;
b) Memberikan perlindungan kepada korban ;
c).Memberikan pertolongan darurat ; dan
d). Mengajukan proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan ; (vide pasal 15 UU PKDRT).
Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi di dalam relasi antar suami-isteri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian. ( vide, pasal 26 ayat 1 UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26 ayat 2). Jika yang menjadi korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (vide, pasal 27).
Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah. ( vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Dan perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut
Menyinggung tentang Kekerasan pada Anak (child abuse) dan perempuan secara klinis diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Namun hemat penulis, masalah kekerasan dalam hal ini tidak saja diartikan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental namun juga mengakibatkan gangguan social, karena kekerasan bukan saja dalam bentuk emosional, seksual dan fisik namun juga dalam hal ekonomi, seperti halnya dipaksa jadi pelacur, pembantu, pengamen dan lain sebagainya.
Begitupun sang pelaku bukan saja dapat dilakukan oleh oleh orang-orang terdekat dalam keluarga (KDRT/domestic violence) namun juga di lakukan oleh orang luar, dengan kata lain bukan saja kekerasan tapi sudah masuk kejahatan dan modusnyapun semakin berkembang.
Seperti akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus terkini, Maret 2008, seorang ibu membunuh bayi dan balita dengan cara menceburkan mereka ke bak mandi. Modus baru yang perlu diwaspadai, kasus perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya. Menurut laporan dalam suatu pertemuan di Australia, diduga ada anak dari Indonesia yang jadi korban perdagangan anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya. Data kasus yang dilaporkan ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan.
Sebanyak 45 perosen dari jumlah kasus itu adalah anak korbannya. (baca Harian Kompas, edisi 14/04/2008). Dari laporan ini modus perdagangan manusia (human trafficking) saja sudah berubah. Dimana awalnya perdagangan manusia hanya dalam hal prostitusi dan buruh kerja, namun akhir-akhir ini berkembang sudah masuk ke dalam perdagangan organ tubuh. Penulis yakin bahwa modus seperti ini bukan saja terjadi pada anak namum juga pada perempuan juga pada para remaja yang berbadan sehat.
Faktor Penyebab dan Dampaknya
Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan, pada umumnya sebagaimana disinggung dalam suatu teori yaitu yang behubungan dengan stress di dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua (suami atau Istri), semua pihak yang tinggal dalam satu rumah tangga tersebut atau oleh situasi tertentu yang ujungnya mendatangkan stress.
Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres. Stres yang berasal dari suami atau istri misalnya dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Stres juga berasal dari situasi tertentu misalnya, suami/istri terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
Namun tentunya teori tersebut hanya melingkupi kekerasan dalam rumah tangga. Penyebab utama lainnya adalah, kemiskinan, masalah hubungan social baik keluarga atau komunitas, penyimpangan prilaku social (masalah psikososial).
Lemahnya kontrol social primer masyarakat dan hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan social tertentu. Namun bagi penulis penyebab utama terjadinya masalah ini adalah hilangnya nilai Agama sebagai sebagai perangkat nilai-nilai yang dihormati dan diagungkan manusia dan digunakan sebagai tuntunan hidup manusia di dunia dan akhirat.karena tentunya hanya dengan agama yang bisa mengatur masalah social berbasis kesadaran individu.
Diantara dampak kekerasan pada anak dan perempuan adalah stigma buruk yang melekat pada korban diantaranya, Pertama, Stigma Internal yaitu, Kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan terutama adalah trauma sehingga seperti halnya perempauan tidak mau lagi berkeluaraga setelah dirinya trauma menerima kekerasan dari suaminya. Kedua, Stigma Eksternal yaitu, kecenderungan masyarakat menyalahkan korban, media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban. Selain stigma buruk yang melekat pada korban, kejahatan pada anak dan perempuan juga dapat menghancurkan tatanan nilai etika dan social seperti halnya dampak buruk dari human trafficking.
Solusi Mendesak
Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan pada anak dan perempuan dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan individu, yaitu dengan cara menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman agama yang kuat (terutama Islam) akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi factor terjadinya kekerasan. Terlebih Islam telah mengajarkan aturan hidup dalam berumah tangga, baik sikap kepada Istri atau kepada anak dan juga mengajarkan interaksi sosial yang baik. Islam sangat mengutuk segala macam bentuk kekerasan, Islam memperbolehkan bercerai jika ada kekerasan dalam rumah tangga sebagai mana hadis dari Aisyah RA berkata, bahwasanya Habibah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais dipukul suaminya sampai memar. Keesokan paginya Habibah melaporkan tindakan kekerasan suaminya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit. Sabdanya, ”Ambillah sebagian hartanya (maharnya) dan ceraikanlah ia!” Tsabit bertanya, ”Apakah hal itu sebagai penyelesaiannya ya Rasulullah?” Jawab Rasulullah, ”Ya betul.” Tsabit berkata lagi, ”Sesungguhnya saya sudah memberinya dua kali lipat, dan keduanya berada di tangannya.” Kata Rasulullah lagi, ”Ambillah kedua bagian tersebut, dan ceraikan ia!” Lalu Tsabit pun melaksanakan perintah tersebut. (HR. Imam Abu Dawud).
Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara pisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadaporang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Dan terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia
Sumber : https://artikel.kantorhukum-lhs.com/kdrt-kekerasan-dalam-rumah-tangga/
Diposting pada Leave a Comment
Strategi Implementasi Program One Day Minutation dan One Day Publish di Pengadilan Agama Secara Efektif dan Efisien oleh: Khoiruddin Hasibuan, Lc., M.A.
Selengkapnya bisa lihat di sini
Diposting pada Leave a Comment
Pengumuman Itsbat Nikah di Era Baru Sistem Peradilan secara Elektronik
Oleh : Syamsul Bahri, S.HI[1]
Dasar Pemikiran
Pengumuman atas permohonan pengesahan perkawinan atau disebut juga itsbat nikah ditemukan pada buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Pemberlakuan buku pedoman tersebut berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Dalam surat tersebut diperintahkan kepada semua pejabat struktural dan fungsional beserta aparat peradilan untuk melaksanakan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan sebagaimana tersebut dalam buku II secara seragam, disiplin, tertib dan bertanggung jawab.
Kenapa pengumuman tersebut harus dilakukan? Sebagai upaya memberi kesempatan kepada pihak yang lain yang dimungkinkan ada kepentingan hukum atas pernikahan yang akan disahkan oleh Pengadilan.
Apakah kemudian terhadap permohonan lain terdapat aturan yang sama untuk diumumkan kepada publik? Hingga saat ini tidak ditemukan selain permohonan pengesahan nikah tersebut. Terhadap perkara lain dimungkinkan untuk meggunakan upaya hukum seperti perlawanan atau gugatan bila terjadi keterkaitan kepentingan.
[1] Hakim Pengadilan Agama Soe
Selengkapnya KLIK DISINI
Komplek Pemda Grand Depok City, Jalan Boulevard Sektor Anggrek, Grand Depok City, Kalimulya, Kec. Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat 16413
Telp: (021) 77835414
Email Kantor: pa.depok_ptabdg@yahoo.co.id
Email Delegasi: delegasi.padepok@gmail.com